Monday 14 September 2015

politik islam dan islam politik

Ratu balqis sang pemimpin perempuan dan penyembah matahari, mempraktekkan prinsip- prinsip demokrasi yang santun, transparansi yang beradab, keadilan yang bertanggung jawab, kejujuran yang sejati, diplomasi yang agung, dan keteladanan yang tinggi. Sikap ini tentu saja disambut dengan sikap santun oleh para pembesar dan rasa cinta dari masyarrakat.
Namun ada beberapa kelemahan jika ayat- ayat tersebut dijadikan alas an bolehnya kepala Negara dari non- muslim memimpin Negara muslim. Pertama ratu balqis terlalu jauh dari sejarah dunia islam yang sering menjadi wacana kontemporer dalam kitab- kitab fiqh siyasah. Kedua, dengan segala kehebatannya, ratu balqis bersama rakyatnya pada akhirnya tunduk di bawah otoritas nabi sulaiman. Kerajaan saba’ kemudian menjadi wilayah protektorat nabi sulaiman yang disebut di dalam bible sebagai raja Solomon. Ketiga ternyata dalam kisah tersebut nabi sulaiman lebih menjanjikan nilai- nilai kemanusiaan secara universal. Keempat kisah- kisah masa lampau tidak pernah di jadikan dasar hukum kenegaraan di dalam wacana islam kontemporer. Dengan demikian, tentu akan lebih arif dan wajar jika kelompok yang dipilih (atau terpiih) dari kalangan mayoritas muslim untuk memimpin negerinya, dengan tetap memperhatikan hak- hak minoritas.
Kelompok masyarakat yang memiliki profesionalisme di bidang masing- masin, tanpa mempersoalkan agama dan etniknya dapat saja di akomodir pada tingkat manteri atau lembaga- lembaga Negara lainnya sesuai dengan keahliannya. Banyak contoh dalam sejarah pemerinntahan islam non- muslim di tempatkan di dalam struktur strategis. Nabi Muhammad saw mempercayakan penasihat militer yang merupakan wilayah yang amat penting kepada salman Al- farisi, seorang keturunan Persia, walaupun pada akhirnya masuk islam. Khalifah umar mengangkat beberapa orang non- muslim sebagai pejabat Negara seperti juru tulis (katib). (lihat Al- Balazari, Futuh al- Buldan, h. 147). Demikian pula dinasti- dinasti sesudahnya banyak sekali mengangkat pejabat penting di lingkungan istana dari non- muslim, khususnya dokter- dokter istana.
Bagi kelompok yang terbuka menerima non- muslim sebagai kepala Negara di Negara mayoritas muslim berpendapat, lebih utama di pimpin seorang nnon- muslim tetapi islami, ketimbang seorang muslim tetapi tidak islami. Namun, tentu akan lebih baik dan lebih bijak  jika Negara mayoritas muslim dipimpin  kepala Negara muslim yang islami. Allahu a’ lam. ( oleh Nasaruddin Umar/ caffee break fajar sabtu 12 september 2015)

0 comments:

Post a Comment